“Tolong! Tolong
kami!” Suaranya bergetar, pilu, merintih pada orang-orang yang lewat di depannya.
“Kumohon,
tolonglah kami. Tolong adikku.” Lagi, terus ia merintih dan memelas pada
mereka. Pada orang-orang yang berlalu-lalang, melihat mereka dengan tatapan iba
tanpa mengulur tangan, jijik, bahkan tidak perduli. Sementara pemilik tubuh
kurus itu mengiba sambil melindungi adiknya.
“Hei, manis.
Kamu lapar?” Seseorang akhirnya mendengar rintihannya. Ia menoleh dan memelas,
berharap orang itu dapat menolongnya.
“Tolong kami, Nona,”
pintanya pada gadis kecil yang sedang membawa kantong plastik hitam.
“Tubuh kalian
kurus sekali. Kalian pasti kelaparan,” ujar gadis kecil lalu membuka kantong
plastik miliknya. “Aku punya roti untuk berbuka. Ambillah.” Gadis kecil itu
membuka kantong roti dan memberikannya pada mereka.
“Tidak, bukan
itu. Kami tidak makan, kami sedang berpuasa.” Ia menolak pemberian gadis kecil
itu dan kembali mengelus tubuh ringkih adiknya yang terdiam.
“Hei,
kenapa tidak makan? Kalian tidak suka?”
“Adikku sakit, aku
sedang berpuasa. Kumohon tolonglah kami. Bantu kami mencari ibu kami. Dia sudah
lama tidak pulang,” jelasnya lagi. Ia terus membersihkan wajah adiknya yang kotor
sambil berusaha meminta tolong pada gadis kecil.
“Tolong temukan
ibu kami.” Lagi dan lagi ia merintih. Namun gadis kecil itu hanya berkerut
kebingungan.
“Apa kalian
kedinginan? Dan dimana ibu kalian?” tanya gadis itu. Namun yang ia dengar
adalah isakan dari tubuh kurus itu.
“Malang sekali
kalian. Maukah kalian ikut kerumahku? Hari ini aku berpuasa. Sebentar lagi
waktunya berbuka, bagaimana kalau kalian ikut makan di rumahku?” tanya gadis
itu sambil merengkuh dua tubuh ringkih tersebut dengan hati-hati.
“Aw!” Seketika
gadis kecil itu berteriak kesakitan, tangannya terluka saat pemilik tubuh itu
berusaha melepaskan diri darinya.
“Tidak! Jangan
bawa kami, kami sudah berjanji untuk menunggu ibu di sini. Aku hanya butuh
bantuanmu untuk menemukan ibuku.”
“Jangan takut,
aku tidak akan melukaimu.” Gadis kecil tersebut berusaha menenangkan pemilik
tubuh kurus yang kini sedang menggeram marah, namun sesekali suaranya terdengar
sendu bahkan serak. Gadis kecil itu merasa iba, namun dia kebingungan harus
berbuat apa. Belum lagi rasa perih di tangannya yang terluka.
Ia berusaha mencari cara agar dapat
membawa mereka pulang ke rumah dan merawatnya. Namun suara mengiba dan erangan
dari pemilik tubuh ringkih itu malah menjauh, sementara matanya sesekali melihat
ke arah adiknya yang terbaring lemah.
“Hei, ayo ikut
denganku. Aku akan menjaga kalian.”
“Tidak, aku
tidak mau pergi dari sini. Ibu sudah berjanji akan kembali. Ku mohon tolong
temukan ibuku. Katakan padanya adikku sakit. Ku mohon, tolonglah aku.” Lagi,
tak henti-hentinya ia meminta bantuan pada sang gadis kecil.
Ia
terus menatap adiknya, sementara kini tubuhnya semakin terasa melemah. Kakinya
gemetaran. Pedih di perutnya tidak dapat ia tahan lagi. Rasa kering di tenggorokannya
semakin terasa mencekat. Ingin sekali ia tumbang dan merehatkan diri, berpasrah
pada penderitaannya. Tetapi ia sudah berjanji pada sang ibu untuk menjaga
adiknya, hingga sang ibu pulang sambil membawa makanan untuk mereka.
Surya
terus menuju peraduannya dengan khidmat. Tak ingin terburu-buru atau pun
terlambat. Seiring berubah kian lembayung. Dihiasi alunan-alunan indah musik
semesta, hingga mencapai cakrawala.
Sementara
sang gadis kecil meragu. Ia harus segera pulang sebelum waktu berbuka tiba.
Namun hatinya terenyuh dan tak tega meninggalkan dua tubuh yang kumal itu. Sang
kakak masih menjaga jarak mereka, sementara sang adik semakin terlelap sambil
tergugu tanpa suara. Lalu, tiba-tiba saja gadis kecil itu mendapatkan sebuah
cara untuk membawa mereka.
Ia
berjalan beberapa langkah ke depan lalu mengambil sebuah kotak kardus berukuran
sedang dan cukup untuk membawa dua tubuh yang telah lemah itu. Perlahan ia
mengangkat tubuh sang adik lalu meletakkannya di dalam kardus. Kemudian menaruh
kardus itu di depan sang kakak. Sang kakak menatapnya bingung dan penuh protes.
“Mau kau bawa
ke mana adikku? Turunkan dia! Jangan sakiti adikku,” pintanya memelas. Ia sudah
tidak sanggup lagi untuk melawan.
“Ayo, aku akan
merawat kalian. Ibu dan Ayah pasti mengizinkannya.”
“Tidak! Sudah ku
katakan tidak! Aku harus menunggu sampai Ibu datang. Kumohon, lepaskan adikku.”
“Baiklah. Aku
akan membantu mencari Ibu kalian. Tapi kalian harus ikut denganku. Bagaimana?”
Mendengar perkataan gadis itu, mendadak tersirat binar di mata sang kakak yang
telah sayu.
“Benarkah?”
Gadis itu tersenyum, mengangguk riang dan mengulurkan tangannya. Sang kakak
menatap penuh terima kasih dan menerima uluran tangan gadis kecil itu, meskipun
masih takut-takut.
Gadis
kecil tersebut tersenyum senang, lalu mengangkat tubuh sang kakak dan
meletakkannya di samping sang adik yang sudah terlelap. Napasnya tersendat,
dengkurannya pun semakin terdengar keras. Setelah berterima kasih pada gadis
kecil itu, ia menghampiri adiknya lalu mengelus penuh kasih sayang. Kemudian ia
ikut merebahkan diri dan menghangatkan tubuh sang adik.
Gadis kecil itu segera beranjak pergi sambil membawa
keduanya dengan riang. Entah apa alasannya, ia sangat gembira karena bisa membantu
dua makhluk malang tersebut meski ia tidak mengerti apa yang di katakan sang
kakak tadi.
Setiba di rumah, gadis itu segera
menemui kedua orangtuanya. Ia meminta izin agar diperbolehkan merawat kedua
makhluk malang, yang kini sedang tertidur di dalam kardus. Setelah mendapatkan
izin, gadis kecil itu tersenyum riang dan bergegas membawa mereka ke dalam
kamarnya. Merapikan tempat tidur untuk dua teman barunya, sementara mereka masih
terlelap. Menyiapkan semangkuk air hangat dan tiga lembar handuk baru. Tak
tertinggal, shampoo pun ia siapkan.
Lalu dengan berjingkat pelan agar tak menganggu kedua temannya, ia melangkah ke
dapur dan menyiapkan makanan untuk mereka.
Setelah selesai, dengan hati-hati ia
merengkuh tubuh sang adik terlebih dahulu lalu membasuh tubuhnya menggunakan
handuk yang sudah ia basahi dengan air hangat tadi. Kemudian membersihkannnya
dengan shampoo. Memijat lembut lalu
kembali membasuhnya menggunakan handuk.
Setelah membersihkan tubuh makhluk
malang itu, ia mengeringkan dan menghangatkannya menggunakan hair dryer milik Ibu. Kemudian ia
menyuapi makanan dan susu dengan lembut dan sabar ke dalam mulut sang pemilik
tubuh ringkih itu. Setelah dirasakan cukup, ia membawa tubuh itu ketempat yang
lebih hangat dan menidurkannya. Benar saja, makhluk malang itu kembali tertidur
namun dengan kondisi yang lebih baik dari sebelumnya.
Kini tiba giliran sang kakak. Gadis
itu mengelus pelan tubuhnya agar sang kakak terbangun. Perlahan, matanya
mengerjap. Ketika dirinya telah tersadar penuh, ia panik ketika tidak menemukan
sang adik.
“Di mana adikku?
Kau bawa ke mana dia? Di mana adikku? Tolong kembalikan adikku!” teriak sang
kakak dengan keras, suaranya juga bergema di dalam kamar.
“Hei, tenanglah!
Tenanglah.” Dengan hati-hati, gadis itu menenangkannya. Takut ia dilukai lagi.
“Adikmu sedang tidur. Aku membersihkannya tadi, dan sekarang dia sedang
terlelap. Sekarang aku harus membersihkanmu dulu. Setelah itu aku akan
mengantarmu menemuinya. Oke?” Kakak terdiam. Mau tidak mau ia harus mempercayai
gadis ini. Tubuhnya sudah tidak berdaya lagi untuk membela diri apalagi
menemukan adiknya.
Gadis itu kembali mengangkat tubuh
sang kakak lalu membersihkannya seperti yang ia lakukan pada sang adik tadi.
Setelah selesai, ia pun mulai menyuapi sang kakak. Namun yang terjadi malah
lebih mengejutkan. Sang kakak melepaskan diri lalu meninggalkan gadis itu. Ia
menolak untuk makan dan lebih memilih berkeliling mencari keberadaan sang adik.
Gadis kecil itu mengerti. Lalu
membawa sang kakak menemui adiknya yang sedang pulas dengan wajah yang lebih
berseri, meski tubuhnya masih tampak kurus. Ia mengelus sayang tubuh sang adik
kemudian beralih melihat ke arah jendela. Langit telah memerah. Sama seperti
ketika sang ibu pergi meninggalkan mereka untuk mencari makanan. Namun sudah
beberapa senja terlewati, sang ibu belum juga kembali.
Gadis kecil itu kembali ingin
menyuapinya makan. Namun sang kakak malah mendudukkan diri di depan jendela,
sambil melihat jalanan yang dipenuhi orang-orang berlalu-lalang. Dan ia terus
melakukan itu hingga berhari-hari. Enggan untuk melepaskan mata tajamnya dari
jalanan, dan hanya sesekali berpaling melihat kondisi adiknya yang perlahan
membaik.
Setiap
sore, gadis kecil itu selalu melihat Merah-nama yang ia berikan pada sang
kakak- duduk di depan jendela dengan perhatian penuh. Seolah tidak ingin
melewatkan sedetik pun waktu yang berlalu. Seolah ia sedang menunggu sesuatu
atau seseorang.
Langit
kian meremang. Helaan angin pun terasa kian lembut, membuat siapa saja yang
dilewatinya merasakan ketenangan. Namun di balik ketenangan itu, beberapa orang
sedang riuh di tengah jalan. Angin di sana pun membawa bau amis darah yang
bergelinangan di aspal. Seolah mengabarkan pada semesta, seseorang telah
berpulang.
Bisik-bisik
orang yang terlihat iba dan jijik, bahkan rutukan yang tidak tahu ditujukan
pada siapa, terdengar di telinga gadis kecil yang sedang berjalan bersama
ayahnya. Mereka melihat kerumunan massa tersebut lalu berjalan menghampirinya.
Setelah berada di jarak yang cukup dekat, gadis kecil itu melihat seonggok
makhluk malang dengan tubuh yang terluka terbaring di tengah-tengah kerumunan.
Matanya sayu dan tersirat meminta pertolongan.
Gadis
kecil itu menarik tangan sang ayah. Lalu berbisik pelan, “Ayah, bolehkah aku
membawanya? Ia harus dikuburkan dengan layak.” Ayah menatap mata anaknya. Lalu
mengangguk pelan dan mengeluarkan kantong plastik serta koran yang baru saja
dibelinya di pasar. Sementara gadis kecil itu berjalan menghampiri tubuh malang
yang sudah kaku dan tak bernyawa tersebut. Memberikan tanda tanya dan rasa
kagum pada orang-orang yang melihatnya. Ia membungkus tubuh makhluk berbulu itu
dengan koran dan memasukkannya ke dalam kantong plastik lalu membawanya pulang.
Di
perjalanan ayah bertanya pada gadis kecil itu. “Kenapa kamu ingin menolongnya?”
“Karena dia juga
makhluk yang pantas menerima pertolongan dari kita, Ayah.” Ayah terdiam.
Hatinya terenyuh dan bangga, putrinya yang masih kecil itu sudah mengerti akan
keadilan. Putrinya benar, siapa pun mereka atau jenis apa pun mereka, yang
namanya makhluk hidup pantas menerima uluran tangan dari orang lain. Bahkan
hewan sekali pun.
“Lagipula,
bulunya mirip seperti Merah. Bahkan matanya juga.”
“Merah? Anak
kucing di rumah kita?” Putrinya mengangguk. “Mungkin saja hanya bulu mereka
yang sama. Merah saat ini pasti sedang duduk di depan jendela seperti biasa,”
tutur Ayah.
Gadis
kecil itu berhenti dan menoleh ke belakang. Orang-orang yang berkumpul di tengah
jalan tadi sudah bubar, meninggalkan jejak darah yang mulai mengering diterpa
lembayung jingga dari cakrawala.
“Dia memang
bukan Merah, temanku. Tapi aku yakin, Merah dan adiknya pasti mengenal ibu
kucing ini.” Gadis kecil itu kembali berjalan, meski pun sang ayah masih belum
mengerti maksud perkataannya barusan.
Source by Pinterest