Rabu, 04 September 2019

Belang Merah Di Lembayung Langit


  “Tolong! Tolong kami!” Suaranya bergetar, pilu, merintih pada orang-orang yang lewat di depannya.
“Kumohon, tolonglah kami. Tolong adikku.” Lagi, terus ia merintih dan memelas pada mereka. Pada orang-orang yang berlalu-lalang, melihat mereka dengan tatapan iba tanpa mengulur tangan, jijik, bahkan tidak perduli. Sementara pemilik tubuh kurus itu mengiba sambil melindungi adiknya.
“Hei, manis. Kamu lapar?” Seseorang akhirnya mendengar rintihannya. Ia menoleh dan memelas, berharap orang itu dapat menolongnya.
“Tolong kami, Nona,” pintanya pada gadis kecil yang sedang membawa kantong plastik hitam.
“Tubuh kalian kurus sekali. Kalian pasti kelaparan,” ujar gadis kecil lalu membuka kantong plastik miliknya. “Aku punya roti untuk berbuka. Ambillah.” Gadis kecil itu membuka kantong roti dan memberikannya pada mereka.
“Tidak, bukan itu. Kami tidak makan, kami sedang berpuasa.” Ia menolak pemberian gadis kecil itu dan kembali mengelus tubuh ringkih adiknya yang terdiam.
“Hei, kenapa tidak makan? Kalian tidak suka?”                           
“Adikku sakit, aku sedang berpuasa. Kumohon tolonglah kami. Bantu kami mencari ibu kami. Dia sudah lama tidak pulang,” jelasnya lagi. Ia terus membersihkan wajah adiknya yang kotor sambil berusaha meminta tolong pada gadis kecil.
“Tolong temukan ibu kami.” Lagi dan lagi ia merintih. Namun gadis kecil itu hanya berkerut kebingungan.
“Apa kalian kedinginan? Dan dimana ibu kalian?” tanya gadis itu. Namun yang ia dengar adalah isakan dari tubuh kurus itu.
“Malang sekali kalian. Maukah kalian ikut kerumahku? Hari ini aku berpuasa. Sebentar lagi waktunya berbuka, bagaimana kalau kalian ikut makan di rumahku?” tanya gadis itu sambil merengkuh dua tubuh ringkih tersebut dengan hati-hati.
“Aw!” Seketika gadis kecil itu berteriak kesakitan, tangannya terluka saat pemilik tubuh itu berusaha melepaskan diri darinya.
“Tidak! Jangan bawa kami, kami sudah berjanji untuk menunggu ibu di sini. Aku hanya butuh bantuanmu untuk menemukan ibuku.”
“Jangan takut, aku tidak akan melukaimu.” Gadis kecil tersebut berusaha menenangkan pemilik tubuh kurus yang kini sedang menggeram marah, namun sesekali suaranya terdengar sendu bahkan serak. Gadis kecil itu merasa iba, namun dia kebingungan harus berbuat apa. Belum lagi rasa perih di tangannya yang terluka.
            Ia berusaha mencari cara agar dapat membawa mereka pulang ke rumah dan merawatnya. Namun suara mengiba dan erangan dari pemilik tubuh ringkih itu malah menjauh, sementara matanya sesekali melihat ke arah adiknya yang terbaring lemah.
“Hei, ayo ikut denganku. Aku akan menjaga kalian.”
“Tidak, aku tidak mau pergi dari sini. Ibu sudah berjanji akan kembali. Ku mohon tolong temukan ibuku. Katakan padanya adikku sakit. Ku mohon, tolonglah aku.” Lagi, tak henti-hentinya ia meminta bantuan pada sang gadis kecil.
Ia terus menatap adiknya, sementara kini tubuhnya semakin terasa melemah. Kakinya gemetaran. Pedih di perutnya tidak dapat ia tahan lagi. Rasa kering di tenggorokannya semakin terasa mencekat. Ingin sekali ia tumbang dan merehatkan diri, berpasrah pada penderitaannya. Tetapi ia sudah berjanji pada sang ibu untuk menjaga adiknya, hingga sang ibu pulang sambil membawa makanan untuk mereka.
Surya terus menuju peraduannya dengan khidmat. Tak ingin terburu-buru atau pun terlambat. Seiring berubah kian lembayung. Dihiasi alunan-alunan indah musik semesta, hingga mencapai cakrawala.
Sementara sang gadis kecil meragu. Ia harus segera pulang sebelum waktu berbuka tiba. Namun hatinya terenyuh dan tak tega meninggalkan dua tubuh yang kumal itu. Sang kakak masih menjaga jarak mereka, sementara sang adik semakin terlelap sambil tergugu tanpa suara. Lalu, tiba-tiba saja gadis kecil itu mendapatkan sebuah cara untuk membawa mereka.
Ia berjalan beberapa langkah ke depan lalu mengambil sebuah kotak kardus berukuran sedang dan cukup untuk membawa dua tubuh yang telah lemah itu. Perlahan ia mengangkat tubuh sang adik lalu meletakkannya di dalam kardus. Kemudian menaruh kardus itu di depan sang kakak. Sang kakak menatapnya bingung dan penuh protes.
“Mau kau bawa ke mana adikku? Turunkan dia! Jangan sakiti adikku,” pintanya memelas. Ia sudah tidak sanggup lagi untuk melawan.
“Ayo, aku akan merawat kalian. Ibu dan Ayah pasti mengizinkannya.”
“Tidak! Sudah ku katakan tidak! Aku harus menunggu sampai Ibu datang. Kumohon, lepaskan adikku.”
“Baiklah. Aku akan membantu mencari Ibu kalian. Tapi kalian harus ikut denganku. Bagaimana?” Mendengar perkataan gadis itu, mendadak tersirat binar di mata sang kakak yang telah sayu.
“Benarkah?” Gadis itu tersenyum, mengangguk riang dan mengulurkan tangannya. Sang kakak menatap penuh terima kasih dan menerima uluran tangan gadis kecil itu, meskipun masih takut-takut.
Gadis kecil tersebut tersenyum senang, lalu mengangkat tubuh sang kakak dan meletakkannya di samping sang adik yang sudah terlelap. Napasnya tersendat, dengkurannya pun semakin terdengar keras. Setelah berterima kasih pada gadis kecil itu, ia menghampiri adiknya lalu mengelus penuh kasih sayang. Kemudian ia ikut merebahkan diri dan menghangatkan tubuh sang adik.
Gadis kecil itu segera beranjak pergi sambil membawa keduanya dengan riang. Entah apa alasannya, ia sangat gembira karena bisa membantu dua makhluk malang tersebut meski ia tidak mengerti apa yang di katakan sang kakak tadi.
            Setiba di rumah, gadis itu segera menemui kedua orangtuanya. Ia meminta izin agar diperbolehkan merawat kedua makhluk malang, yang kini sedang tertidur di dalam kardus. Setelah mendapatkan izin, gadis kecil itu tersenyum riang dan bergegas membawa mereka ke dalam kamarnya. Merapikan tempat tidur untuk dua teman barunya, sementara mereka masih terlelap. Menyiapkan semangkuk air hangat dan tiga lembar handuk baru. Tak tertinggal, shampoo pun ia siapkan. Lalu dengan berjingkat pelan agar tak menganggu kedua temannya, ia melangkah ke dapur dan menyiapkan makanan untuk mereka.
            Setelah selesai, dengan hati-hati ia merengkuh tubuh sang adik terlebih dahulu lalu membasuh tubuhnya menggunakan handuk yang sudah ia basahi dengan air hangat tadi. Kemudian membersihkannnya dengan shampoo. Memijat lembut lalu kembali membasuhnya menggunakan handuk.
            Setelah membersihkan tubuh makhluk malang itu, ia mengeringkan dan menghangatkannya menggunakan hair dryer milik Ibu. Kemudian ia menyuapi makanan dan susu dengan lembut dan sabar ke dalam mulut sang pemilik tubuh ringkih itu. Setelah dirasakan cukup, ia membawa tubuh itu ketempat yang lebih hangat dan menidurkannya. Benar saja, makhluk malang itu kembali tertidur namun dengan kondisi yang lebih baik dari sebelumnya.
            Kini tiba giliran sang kakak. Gadis itu mengelus pelan tubuhnya agar sang kakak terbangun. Perlahan, matanya mengerjap. Ketika dirinya telah tersadar penuh, ia panik ketika tidak menemukan sang adik.
“Di mana adikku? Kau bawa ke mana dia? Di mana adikku? Tolong kembalikan adikku!” teriak sang kakak dengan keras, suaranya juga bergema di dalam kamar.
“Hei, tenanglah! Tenanglah.” Dengan hati-hati, gadis itu menenangkannya. Takut ia dilukai lagi. “Adikmu sedang tidur. Aku membersihkannya tadi, dan sekarang dia sedang terlelap. Sekarang aku harus membersihkanmu dulu. Setelah itu aku akan mengantarmu menemuinya. Oke?” Kakak terdiam. Mau tidak mau ia harus mempercayai gadis ini. Tubuhnya sudah tidak berdaya lagi untuk membela diri apalagi menemukan adiknya.
            Gadis itu kembali mengangkat tubuh sang kakak lalu membersihkannya seperti yang ia lakukan pada sang adik tadi. Setelah selesai, ia pun mulai menyuapi sang kakak. Namun yang terjadi malah lebih mengejutkan. Sang kakak melepaskan diri lalu meninggalkan gadis itu. Ia menolak untuk makan dan lebih memilih berkeliling mencari keberadaan sang adik.
            Gadis kecil itu mengerti. Lalu membawa sang kakak menemui adiknya yang sedang pulas dengan wajah yang lebih berseri, meski tubuhnya masih tampak kurus. Ia mengelus sayang tubuh sang adik kemudian beralih melihat ke arah jendela. Langit telah memerah. Sama seperti ketika sang ibu pergi meninggalkan mereka untuk mencari makanan. Namun sudah beberapa senja terlewati, sang ibu belum juga kembali.
            Gadis kecil itu kembali ingin menyuapinya makan. Namun sang kakak malah mendudukkan diri di depan jendela, sambil melihat jalanan yang dipenuhi orang-orang berlalu-lalang. Dan ia terus melakukan itu hingga berhari-hari. Enggan untuk melepaskan mata tajamnya dari jalanan, dan hanya sesekali berpaling melihat kondisi adiknya yang perlahan membaik.
            Setiap sore, gadis kecil itu selalu melihat Merah-nama yang ia berikan pada sang kakak- duduk di depan jendela dengan perhatian penuh. Seolah tidak ingin melewatkan sedetik pun waktu yang berlalu. Seolah ia sedang menunggu sesuatu atau seseorang.
Langit kian meremang. Helaan angin pun terasa kian lembut, membuat siapa saja yang dilewatinya merasakan ketenangan. Namun di balik ketenangan itu, beberapa orang sedang riuh di tengah jalan. Angin di sana pun membawa bau amis darah yang bergelinangan di aspal. Seolah mengabarkan pada semesta, seseorang telah berpulang.
Bisik-bisik orang yang terlihat iba dan jijik, bahkan rutukan yang tidak tahu ditujukan pada siapa, terdengar di telinga gadis kecil yang sedang berjalan bersama ayahnya. Mereka melihat kerumunan massa tersebut lalu berjalan menghampirinya. Setelah berada di jarak yang cukup dekat, gadis kecil itu melihat seonggok makhluk malang dengan tubuh yang terluka terbaring di tengah-tengah kerumunan. Matanya sayu dan tersirat meminta pertolongan.
Gadis kecil itu menarik tangan sang ayah. Lalu berbisik pelan, “Ayah, bolehkah aku membawanya? Ia harus dikuburkan dengan layak.” Ayah menatap mata anaknya. Lalu mengangguk pelan dan mengeluarkan kantong plastik serta koran yang baru saja dibelinya di pasar. Sementara gadis kecil itu berjalan menghampiri tubuh malang yang sudah kaku dan tak bernyawa tersebut. Memberikan tanda tanya dan rasa kagum pada orang-orang yang melihatnya. Ia membungkus tubuh makhluk berbulu itu dengan koran dan memasukkannya ke dalam kantong plastik lalu membawanya pulang.
Di perjalanan ayah bertanya pada gadis kecil itu. “Kenapa kamu ingin menolongnya?”
“Karena dia juga makhluk yang pantas menerima pertolongan dari kita, Ayah.” Ayah terdiam. Hatinya terenyuh dan bangga, putrinya yang masih kecil itu sudah mengerti akan keadilan. Putrinya benar, siapa pun mereka atau jenis apa pun mereka, yang namanya makhluk hidup pantas menerima uluran tangan dari orang lain. Bahkan hewan sekali pun.
“Lagipula, bulunya mirip seperti Merah. Bahkan matanya juga.”
“Merah? Anak kucing di rumah kita?” Putrinya mengangguk. “Mungkin saja hanya bulu mereka yang sama. Merah saat ini pasti sedang duduk di depan jendela seperti biasa,” tutur Ayah.
Gadis kecil itu berhenti dan menoleh ke belakang. Orang-orang yang berkumpul di tengah jalan tadi sudah bubar, meninggalkan jejak darah yang mulai mengering diterpa lembayung jingga dari cakrawala.
“Dia memang bukan Merah, temanku. Tapi aku yakin, Merah dan adiknya pasti mengenal ibu kucing ini.” Gadis kecil itu kembali berjalan, meski pun sang ayah masih belum mengerti maksud perkataannya barusan.



Source by Pinterest