Senin, 07 Oktober 2019

REMAH ROTI


_ Remah Roti _

            Masih terasa bau anyir dan amis cairan pekat berwarna merah di jalanan. Tempat persinggahan yang dulunya ramai akan pengunjung, kini hanya tinggal warung usang yang tak terurus. Persimpangan jalan yang biasanya ramai menjadi tempat menongkrong ria, mulai menyepi. Tidak ada lagi yang bersantai sambil menunggu angkutan umum tiba. Senda gurau di sore hari pun perlahan menghening.
            Semua berubah begitu saja, ketika hari ‘berdarah’ itu terjadi di suatu petang penuh gerimis. Tatkala kesombongan menjatuhkan harga diri dan egonya. Hingga saat ini, tak lagi kutemui suara teriakan dari warung kecil di seberang jalan.
“Pergi! Pergi dari sini, kau mengotori warungku! dasar tak tahu malu. Semua orang bekerja untuk makan, bukan meminta-minta seperti kau,” bentak seorang wanita paruh baya. Teriakan tersebut terdengar hingga ke warung tempatku beristirahat.
“Kerja sana! Kau pikir hidup ini serba gratis, ha? Semua butuh duit!”  Begitulah yang terjadi. Hal yang sama seperti hari-hari sebelumnya.
         Setiap siang, seorang pria renta yang sudah memasuki usia senja datang dan beristirahat di depan warung tersebut. Dengan pakaian kumal dan berlubang di beberapa tempat, ia duduk di teras kedai makan kecil itu hanya untuk melindungi diri dari teriknya matahari. Tak luput pula, sebuah topi usang yang melingkar di kepala ia kibas-kibas di depan wajah. Sesekali aku melihat, mata layunya melirik ke dalam kedai. Melihat wajah cerah para pengunjung yang sedang menikmati makan siang. Yang bahkan tidak peduli ataupun bersimpati pada kejadian yang terjadi di hadapan mereka.
         Tidak kuketahui jelas, kapan hal ini di mulai. Yang pasti, sejak seminggu lalu ketika aku ditugaskan untuk mengabdi di tempat terpencil ini. Sering kudapati wanita paruh baya itu sedang memarahi pria renta yang usianya lebih tua dari dirinya.
         Seperti biasa pula. Setelah puas memaki-maki pria tua tersebut, wanita itu akan melempar beberapa keping roti yang sudah hancur ke lantai warung yang kotor. Sebelum akhirnya ia berlalu masuk ke dalam. Namun, pria renta tersebut tak malu untuk memungut dan memakannya demi mengisi kekosongan perut. Bahkan tanpa ragu, ia menundukkan kepala pada wanita itu hanya untuk sekedar berterima kasih.
Setelah wanita tersebut menghilang ke dalam warung, seorang anak laki-laki berlari menghampiri pria tua itu. kupikir, bocah itu berusia sekitar 5 tahun. Dengan senyum riang yang polos, ia membawa robot yang sama setiap hari dan bermain di depan pria renta tersebut. senyum tipis dari bibir yang telah mengering itu pun terukir jelas, meski aku melihatnya dari jauh. Raut wajahnya bahagia, seolah sedang menemani cucu yang bermain. Sesekali, bocah itu memberikan dua bungkus roti yang layak dibandingkan pemberian wanita pemilik warung pada pria tua tersebut.
Namun sama seperti sebelumnya, kebahagiaan itu tidak akan berlangsung lama. Wanita yang sepertinya adalah ibu dari bocah laki-laki tersebut, datang sambil membawa dua batang lidi dan memaksa masuk sang anak. Meski bocah itu tampak berat hati, ia akhirnya tetap menurut dan masuk ke dalam warung sekaligus rumah mereka. Biasanya, pria renta itu akan beranjak meninggalkan warung tersebut usai bermain dengan sang bocah.
Tetapi hari itu, ia terpaksa menunggu di warung tersebut lebih lama dari biasanya. Hujan dengan tiba-tiba membasahi tanah dengan deras. Mengharuskanku berhenti melihat rutinitas pria tua tersebut.

Hujan pun mereda ketika hari beranjak petang. Menyisakan rinai-rinai kecil dan aroma petrikor. akhirnya dapat kulihat lagi pria tua itu yang kini sedang bersiap-siap untuk pulang. setelah memastikan tidak ada kendaraan yang akan lewat, pria renta tersebut mulai menyeberang. Namun mendengar suara bocah kecil yang berteriak memanggil namanya, langkah pria itu terhenti beberapa meter dari bahu jalan di seberang. Ia mendapati bocah kecil itu sedang melambai ke arahnya sambil menenteng kantung plastik yang entah apa isinya.
Meski berkali-kali sang ibu berteriak memanggil, sedikitpun tak dihiraukannya. Kemudian tanpa melihat sisi kiri-kanan jalan, ia berlari-lari kecil dengan senyum manis menghampiri pria renta tersebut. Tak peduli dengan teriakan yang semakin riuh dari beberapa orang yang ada di sana.

Hanya dalam seperkian detik saja, petang berpeluh gerimis itu membawa bau amis darah dari kejauhan. Mengabarkan pada seisi bumi, seseorang telah berpulang. Teriakan yang tadinya memenuhi jalan, seketika membisu. Berganti debar jantung yang melaju dengan ritme tak beraturan. Dalam beberapa saat, kami terpaku. Memastikan kejadian naas yang terjadi beberapa detik lalu. Setelah mendengar langkah kaki berlarian, tubuhku mendadak limbung. Dengan kaki yang seolah mati rasa, kupaksakan membawanya menuju kerumunan massa. 
Hal pertama yang kulihat, cairan pekat dari tubuh yang sudah membisu. Tubuh senja dari pemilik senyum tipis yang tak pernah berkecil hati, meski acap kali direndahkan dan dimaki. Sementara di sebelahnya, terduduk lemas seorang bocah dengan wajah pasi. Di sisi kanan, seorang wanita menangis sambil memeluk dirinya yang tak luput dari percikan merah. Beberapa saat setelah ia sadar bahwa pria itu tidak akan lagi menemaninya bermain, bocah kecil tersebut mulai sesenggukan dan menangis keras. Menambah kepiluan petang hari itu.

Dan hari ini, tidak lagi kulihat pria senja yang selalu tersenyum tanpa rasa kecewa. Dan wajah riang yang begitu polos mengajaknya bermain. Beberapa minggu setelah hari naas tersebut, warung makan itu pun seketika sunyi. Entah kemana wanita pemilik warung bersama anaknya pergi. Yang pasti, harga dirinya jatuh. Ketika orang yang selalu ia perlakukan dengan buruk, malah menjadi malaikat penyelamat putra semata wayangnya dari maut. Tak satu pun dari orang-orang yang telah menyaksikan hari naas itu terjadi, mampu melupakannya begitu saja. Begitu pula dengan wanita paruh baya tersebut.

Akibat jalanan yang licin, seorang pengendara motor yang melaju dengan kecepatan tinggi tak mampu menyeimbangkan kendaraannya. Dipicu rasa kaget ketika melihat seorang bocah melintas di jalurnya, dengan cepat ia mengambil langkah. Namun terlambat. Motor miliknya lebih dulu mengenai dan melempar tubuh renta yang berlari menolong sang bocah ke jalanan yang basah. Menurut kabar yang beredar, pengendara motor tersebut juga berada dalam kondisi parah dan masih dirawat di salah satu rumah sakit.

Minggu, 06 Oktober 2019

KETIKA BENCI MENJADI JATUH CINTA


KETIKA BENCI MENJADI JATUH CINTA

            Pernah nggak sih merasakan jatuh cinta? Sebelum jatuh cinta, apa yang terlebih dahulu kalian rasakan? Kagum? Suka? Atau benci?
            Begitu pula dengan menulis. Sebelum jatuh cinta pada dunia kepenulisan, saya sempat tidak menyukai hal-hal yang berhubungan dengan menulis atau membuat karangan. Dan ketika harus berhadapan dengan hal yang tidak saya sukai, rasanya mata ini ingin sekali terlelap. Bagi saya saat itu, menulis adalah sesuatu yang sangat membosankan. Ibarat benci menjadi cinta, waktu demi waktu saya menyukai dunia kepenulisan. Bahkan menulis menjadi salah satu passion saya saat ini. Yang dulunya membosankan, kini malah berubah menjadi hal pertama yang saya lakukan ketika dihadapi rasa bosan.

            Hah, bagaimana bisa?

Baiklah, saya akan bercinta kisah antara saya dan dunia menulis.
Di masa kanak-kanak, merupakan hal yang wajar jika sering berandai-andai. Bahkan perandaian tersebut seringkali menjadi cita-cita mereka. Begitu juga dengan saya di masa itu. Gemar menonton film atau serial kartun di salah satu siaran televisi, saya sempat bercita-cita ingin membuat cerita sebagus film kesukaan saya. Saya sering berandai-andai, cerita apa yang akan saya buat nanti. Dan bagaimana akhir yang bagus untuk tokoh tersebut.
Imajinasi kanak-kanak saya terus berkembang, dan tidak akan berhenti begitu saja jika belum menemukan akhir dari cerita tersebut. Tetapi, suatu hari saya memutuskan untuk berhenti. Ketika saya mengetahui untuk membuat cerita seperti itu maka saya harus menulis, agar hasil imajinasi tersebut dapat terwujud.
            Mungkin karena memang sudah berjodoh dengan dunia kepenulisan, perlahan saya kembali bertemu dengan yang namanya menulis. Eaak, hahaha J
            Di mulai dari tugas sekolah, yang mengharuskan membuat karangan atau menceritakan pengalaman ketika libur sekolah. Dan berlanjut ketika saya duduk di bangku SMP, di mana saat itu perlahan-lahan saya mulai menulis jurnal harian. Yang awalnya hanya sebaris kalimat, sedikit demi sedikit saya mulai menyukai kegiatan baru tersebut. Tapi, saat itu saya masih belum jatuh cinta pada dunia kepenulisan. Hanya sekedar menyukai kegiatan menulis keseharian saya.
            Singkat cerita bagaimana saya bisa jatuh cinta pada tulis-menulis karang-mengarang. Karena kebiasaan masa kecil yang sering berimajinasi, saya mulai menulis di setiap lembar kosong yang tidak terpakai. Mencatat imajinasi-imajinasi yang sempat terhenti dalam bentuk dialog, tanpa narasi. Karena pada dasarnya saya ingin membuat ala-ala film. Wkwkwk ….
            Sampai salah satu teman minta dibuatkan satu cerpen ala-ala disney. Saya pun menerima tawaran tersebut. Dari cerpen pertama itu, saya akhirnya suka menulis. Karena saya bisa menciptakan ‘Semesta’ saya sendiri, yang ketika itu mulai menjadi seorang individu introvert. Dalam semesta yang saya ciptakan, saya bisa berkelana sebebas mungkin dan menjadi diri sendiri. Terlebih ketika saya bisa menyelesaikan satu novel pertama, dengan tulisan tangan selama kurang lebih 4 tahun yang selesai tepat di tahun kedua SMA. Rasa bangga akan usaha saya selama itu, meskipun cerita dan gaya penulisan yang benar-benar gaje. Akhirnya membuat saya jatuh cinta pada dunia menulis, yang saat ini menjadi passion dan tempat melepas rasa bosan. Apalagi ketika salah satu karya saya bisa lolos seleksi dalam suatu lomba dan akhirnya dibukukan. Kini, cita-cita utama saya adalah menjadi penulis dengan karya yang bisa menghibur pembaca. Menjadi salah satu tempat mereka melepas rasa lelah dan membuatnya jatuh cinta pada dunia literasi.
            Itulah kisah pertemuan antara saya dan dunia menulis, yang berawal dari kata benci. Terima kasih karena telah berkunjung ke blog saya.
            Salam Literasi!

#nulisyuk #belajarmenulis #nulisyukbatch37

Rabu, 04 September 2019

Belang Merah Di Lembayung Langit


  “Tolong! Tolong kami!” Suaranya bergetar, pilu, merintih pada orang-orang yang lewat di depannya.
“Kumohon, tolonglah kami. Tolong adikku.” Lagi, terus ia merintih dan memelas pada mereka. Pada orang-orang yang berlalu-lalang, melihat mereka dengan tatapan iba tanpa mengulur tangan, jijik, bahkan tidak perduli. Sementara pemilik tubuh kurus itu mengiba sambil melindungi adiknya.
“Hei, manis. Kamu lapar?” Seseorang akhirnya mendengar rintihannya. Ia menoleh dan memelas, berharap orang itu dapat menolongnya.
“Tolong kami, Nona,” pintanya pada gadis kecil yang sedang membawa kantong plastik hitam.
“Tubuh kalian kurus sekali. Kalian pasti kelaparan,” ujar gadis kecil lalu membuka kantong plastik miliknya. “Aku punya roti untuk berbuka. Ambillah.” Gadis kecil itu membuka kantong roti dan memberikannya pada mereka.
“Tidak, bukan itu. Kami tidak makan, kami sedang berpuasa.” Ia menolak pemberian gadis kecil itu dan kembali mengelus tubuh ringkih adiknya yang terdiam.
“Hei, kenapa tidak makan? Kalian tidak suka?”                           
“Adikku sakit, aku sedang berpuasa. Kumohon tolonglah kami. Bantu kami mencari ibu kami. Dia sudah lama tidak pulang,” jelasnya lagi. Ia terus membersihkan wajah adiknya yang kotor sambil berusaha meminta tolong pada gadis kecil.
“Tolong temukan ibu kami.” Lagi dan lagi ia merintih. Namun gadis kecil itu hanya berkerut kebingungan.
“Apa kalian kedinginan? Dan dimana ibu kalian?” tanya gadis itu. Namun yang ia dengar adalah isakan dari tubuh kurus itu.
“Malang sekali kalian. Maukah kalian ikut kerumahku? Hari ini aku berpuasa. Sebentar lagi waktunya berbuka, bagaimana kalau kalian ikut makan di rumahku?” tanya gadis itu sambil merengkuh dua tubuh ringkih tersebut dengan hati-hati.
“Aw!” Seketika gadis kecil itu berteriak kesakitan, tangannya terluka saat pemilik tubuh itu berusaha melepaskan diri darinya.
“Tidak! Jangan bawa kami, kami sudah berjanji untuk menunggu ibu di sini. Aku hanya butuh bantuanmu untuk menemukan ibuku.”
“Jangan takut, aku tidak akan melukaimu.” Gadis kecil tersebut berusaha menenangkan pemilik tubuh kurus yang kini sedang menggeram marah, namun sesekali suaranya terdengar sendu bahkan serak. Gadis kecil itu merasa iba, namun dia kebingungan harus berbuat apa. Belum lagi rasa perih di tangannya yang terluka.
            Ia berusaha mencari cara agar dapat membawa mereka pulang ke rumah dan merawatnya. Namun suara mengiba dan erangan dari pemilik tubuh ringkih itu malah menjauh, sementara matanya sesekali melihat ke arah adiknya yang terbaring lemah.
“Hei, ayo ikut denganku. Aku akan menjaga kalian.”
“Tidak, aku tidak mau pergi dari sini. Ibu sudah berjanji akan kembali. Ku mohon tolong temukan ibuku. Katakan padanya adikku sakit. Ku mohon, tolonglah aku.” Lagi, tak henti-hentinya ia meminta bantuan pada sang gadis kecil.
Ia terus menatap adiknya, sementara kini tubuhnya semakin terasa melemah. Kakinya gemetaran. Pedih di perutnya tidak dapat ia tahan lagi. Rasa kering di tenggorokannya semakin terasa mencekat. Ingin sekali ia tumbang dan merehatkan diri, berpasrah pada penderitaannya. Tetapi ia sudah berjanji pada sang ibu untuk menjaga adiknya, hingga sang ibu pulang sambil membawa makanan untuk mereka.
Surya terus menuju peraduannya dengan khidmat. Tak ingin terburu-buru atau pun terlambat. Seiring berubah kian lembayung. Dihiasi alunan-alunan indah musik semesta, hingga mencapai cakrawala.
Sementara sang gadis kecil meragu. Ia harus segera pulang sebelum waktu berbuka tiba. Namun hatinya terenyuh dan tak tega meninggalkan dua tubuh yang kumal itu. Sang kakak masih menjaga jarak mereka, sementara sang adik semakin terlelap sambil tergugu tanpa suara. Lalu, tiba-tiba saja gadis kecil itu mendapatkan sebuah cara untuk membawa mereka.
Ia berjalan beberapa langkah ke depan lalu mengambil sebuah kotak kardus berukuran sedang dan cukup untuk membawa dua tubuh yang telah lemah itu. Perlahan ia mengangkat tubuh sang adik lalu meletakkannya di dalam kardus. Kemudian menaruh kardus itu di depan sang kakak. Sang kakak menatapnya bingung dan penuh protes.
“Mau kau bawa ke mana adikku? Turunkan dia! Jangan sakiti adikku,” pintanya memelas. Ia sudah tidak sanggup lagi untuk melawan.
“Ayo, aku akan merawat kalian. Ibu dan Ayah pasti mengizinkannya.”
“Tidak! Sudah ku katakan tidak! Aku harus menunggu sampai Ibu datang. Kumohon, lepaskan adikku.”
“Baiklah. Aku akan membantu mencari Ibu kalian. Tapi kalian harus ikut denganku. Bagaimana?” Mendengar perkataan gadis itu, mendadak tersirat binar di mata sang kakak yang telah sayu.
“Benarkah?” Gadis itu tersenyum, mengangguk riang dan mengulurkan tangannya. Sang kakak menatap penuh terima kasih dan menerima uluran tangan gadis kecil itu, meskipun masih takut-takut.
Gadis kecil tersebut tersenyum senang, lalu mengangkat tubuh sang kakak dan meletakkannya di samping sang adik yang sudah terlelap. Napasnya tersendat, dengkurannya pun semakin terdengar keras. Setelah berterima kasih pada gadis kecil itu, ia menghampiri adiknya lalu mengelus penuh kasih sayang. Kemudian ia ikut merebahkan diri dan menghangatkan tubuh sang adik.
Gadis kecil itu segera beranjak pergi sambil membawa keduanya dengan riang. Entah apa alasannya, ia sangat gembira karena bisa membantu dua makhluk malang tersebut meski ia tidak mengerti apa yang di katakan sang kakak tadi.
            Setiba di rumah, gadis itu segera menemui kedua orangtuanya. Ia meminta izin agar diperbolehkan merawat kedua makhluk malang, yang kini sedang tertidur di dalam kardus. Setelah mendapatkan izin, gadis kecil itu tersenyum riang dan bergegas membawa mereka ke dalam kamarnya. Merapikan tempat tidur untuk dua teman barunya, sementara mereka masih terlelap. Menyiapkan semangkuk air hangat dan tiga lembar handuk baru. Tak tertinggal, shampoo pun ia siapkan. Lalu dengan berjingkat pelan agar tak menganggu kedua temannya, ia melangkah ke dapur dan menyiapkan makanan untuk mereka.
            Setelah selesai, dengan hati-hati ia merengkuh tubuh sang adik terlebih dahulu lalu membasuh tubuhnya menggunakan handuk yang sudah ia basahi dengan air hangat tadi. Kemudian membersihkannnya dengan shampoo. Memijat lembut lalu kembali membasuhnya menggunakan handuk.
            Setelah membersihkan tubuh makhluk malang itu, ia mengeringkan dan menghangatkannya menggunakan hair dryer milik Ibu. Kemudian ia menyuapi makanan dan susu dengan lembut dan sabar ke dalam mulut sang pemilik tubuh ringkih itu. Setelah dirasakan cukup, ia membawa tubuh itu ketempat yang lebih hangat dan menidurkannya. Benar saja, makhluk malang itu kembali tertidur namun dengan kondisi yang lebih baik dari sebelumnya.
            Kini tiba giliran sang kakak. Gadis itu mengelus pelan tubuhnya agar sang kakak terbangun. Perlahan, matanya mengerjap. Ketika dirinya telah tersadar penuh, ia panik ketika tidak menemukan sang adik.
“Di mana adikku? Kau bawa ke mana dia? Di mana adikku? Tolong kembalikan adikku!” teriak sang kakak dengan keras, suaranya juga bergema di dalam kamar.
“Hei, tenanglah! Tenanglah.” Dengan hati-hati, gadis itu menenangkannya. Takut ia dilukai lagi. “Adikmu sedang tidur. Aku membersihkannya tadi, dan sekarang dia sedang terlelap. Sekarang aku harus membersihkanmu dulu. Setelah itu aku akan mengantarmu menemuinya. Oke?” Kakak terdiam. Mau tidak mau ia harus mempercayai gadis ini. Tubuhnya sudah tidak berdaya lagi untuk membela diri apalagi menemukan adiknya.
            Gadis itu kembali mengangkat tubuh sang kakak lalu membersihkannya seperti yang ia lakukan pada sang adik tadi. Setelah selesai, ia pun mulai menyuapi sang kakak. Namun yang terjadi malah lebih mengejutkan. Sang kakak melepaskan diri lalu meninggalkan gadis itu. Ia menolak untuk makan dan lebih memilih berkeliling mencari keberadaan sang adik.
            Gadis kecil itu mengerti. Lalu membawa sang kakak menemui adiknya yang sedang pulas dengan wajah yang lebih berseri, meski tubuhnya masih tampak kurus. Ia mengelus sayang tubuh sang adik kemudian beralih melihat ke arah jendela. Langit telah memerah. Sama seperti ketika sang ibu pergi meninggalkan mereka untuk mencari makanan. Namun sudah beberapa senja terlewati, sang ibu belum juga kembali.
            Gadis kecil itu kembali ingin menyuapinya makan. Namun sang kakak malah mendudukkan diri di depan jendela, sambil melihat jalanan yang dipenuhi orang-orang berlalu-lalang. Dan ia terus melakukan itu hingga berhari-hari. Enggan untuk melepaskan mata tajamnya dari jalanan, dan hanya sesekali berpaling melihat kondisi adiknya yang perlahan membaik.
            Setiap sore, gadis kecil itu selalu melihat Merah-nama yang ia berikan pada sang kakak- duduk di depan jendela dengan perhatian penuh. Seolah tidak ingin melewatkan sedetik pun waktu yang berlalu. Seolah ia sedang menunggu sesuatu atau seseorang.
Langit kian meremang. Helaan angin pun terasa kian lembut, membuat siapa saja yang dilewatinya merasakan ketenangan. Namun di balik ketenangan itu, beberapa orang sedang riuh di tengah jalan. Angin di sana pun membawa bau amis darah yang bergelinangan di aspal. Seolah mengabarkan pada semesta, seseorang telah berpulang.
Bisik-bisik orang yang terlihat iba dan jijik, bahkan rutukan yang tidak tahu ditujukan pada siapa, terdengar di telinga gadis kecil yang sedang berjalan bersama ayahnya. Mereka melihat kerumunan massa tersebut lalu berjalan menghampirinya. Setelah berada di jarak yang cukup dekat, gadis kecil itu melihat seonggok makhluk malang dengan tubuh yang terluka terbaring di tengah-tengah kerumunan. Matanya sayu dan tersirat meminta pertolongan.
Gadis kecil itu menarik tangan sang ayah. Lalu berbisik pelan, “Ayah, bolehkah aku membawanya? Ia harus dikuburkan dengan layak.” Ayah menatap mata anaknya. Lalu mengangguk pelan dan mengeluarkan kantong plastik serta koran yang baru saja dibelinya di pasar. Sementara gadis kecil itu berjalan menghampiri tubuh malang yang sudah kaku dan tak bernyawa tersebut. Memberikan tanda tanya dan rasa kagum pada orang-orang yang melihatnya. Ia membungkus tubuh makhluk berbulu itu dengan koran dan memasukkannya ke dalam kantong plastik lalu membawanya pulang.
Di perjalanan ayah bertanya pada gadis kecil itu. “Kenapa kamu ingin menolongnya?”
“Karena dia juga makhluk yang pantas menerima pertolongan dari kita, Ayah.” Ayah terdiam. Hatinya terenyuh dan bangga, putrinya yang masih kecil itu sudah mengerti akan keadilan. Putrinya benar, siapa pun mereka atau jenis apa pun mereka, yang namanya makhluk hidup pantas menerima uluran tangan dari orang lain. Bahkan hewan sekali pun.
“Lagipula, bulunya mirip seperti Merah. Bahkan matanya juga.”
“Merah? Anak kucing di rumah kita?” Putrinya mengangguk. “Mungkin saja hanya bulu mereka yang sama. Merah saat ini pasti sedang duduk di depan jendela seperti biasa,” tutur Ayah.
Gadis kecil itu berhenti dan menoleh ke belakang. Orang-orang yang berkumpul di tengah jalan tadi sudah bubar, meninggalkan jejak darah yang mulai mengering diterpa lembayung jingga dari cakrawala.
“Dia memang bukan Merah, temanku. Tapi aku yakin, Merah dan adiknya pasti mengenal ibu kucing ini.” Gadis kecil itu kembali berjalan, meski pun sang ayah masih belum mengerti maksud perkataannya barusan.



Source by Pinterest

Minggu, 11 Agustus 2019

Fahombo, Tradisi Menuju Kedewasaan Khas Nias

Masih ingat tidak, dengan uang pecahan seribu rupiah era 90'an ini? Di sana terdapat gambar seorang pemuda sedang melompati batu yang tinggi. Ternyata gambar tersebut merupakan salah satu tradisi khas dari Nias, Sumatera Utara. Yaitu, 'Fahombo' atau lebih dikenal dengan Lompat Batu Nias.

Tradisi ini merupakan salah satu tradisi yang cukup terkenal dan hanya dilakukan oleh para pemuda Nias. Untuk menunjukkan bahwa dirinya telah dewasa dan matang secara fisik, mereka akan melompati batu yang disusun secara rapi dengan tinggi 2 meter, panjang 60 cm, dan lebar mencapai 90 cm. Tradisi ini dikenal sebagai ritual pendewasaan diri seorang remaja, dan tentu saja membutuhkan latihan dan usaha keras dari sejak dini.

Bermula dari peperangan antar suku yang sering terjadi di Nias, masyarakat mulai membangun benteng yang terbuat dari bambu atau batu setinggi 2 meter demi melindungi masing-masing desa dari peperangan tersebut. Akhirnya, para penyerang membutuhkan kekuatan khusus agar mampu melompati benteng tersebut. Mereka kemudian membuat tumpukan batu dan melatih fisik mereka, terutama ketangkasan dalam melompat. Sejak saat itu, lompat batu menjadi tradisi bagi pemuda di Nias. Tetapi, tradisi ini tidak terdapat di semua wilayah Nias dan hanya terdapat pada kampung-kampung tertentu seperti di wilayah Teluk Dalam.

Selain itu, fahombon atau lompat batu, juga mengajarkan pada pemuda tentang ketangkasan, kegesitan, keberanian, taktis, dan kemampuan berpikir cerdas. Bagi mereka yang berhasil melewati atau melompati batu tersebut, mereka akan diberikan hadiah berupa penyelenggaraan pesta yang cukup meriah dengan menyembelih hewan ternak.

Nah, itulah tradisi fahombo yang sangat digemari oleh wisatawan lokal maupun wisatawan asing ketika berkunjung ke Sumatera Utara. Sebagai salah satu budaya Nusantara, semoga tradisi ini terus terjaga eksistensinya.

 Sumber:
https://arsipbudayanusantara.blogspot.com/2013/08/tradisi-lompat-batu-nias.html
https://www.pegipegi.com/travel/jadi-pria-dewasa-dengan-lolos-lompat-batu-nias/